Pramoedya Ananta Toer, seorang sastrawan yang merekam jejak sejarah nusantara dalam karya cerpen dan novelnya, dengan kehidupan masyarakat pinggirian dan kaum kromo (rakyat jelata). Tak sedikit penghargaan sastra dari negara-negara didapatkan oleh Pram. Ketika Pram meninggal dunia (2006) nyaris tidak ada sastrawan Indonesia yang menandingi beliau. Maka menulis tentang Pram dari segi pribadi, karya, dan latar belakang proses kreatif karyanya adalah sumbangsih untuk generasi muda mendatang agar tumbuh penulis-penulis muda yang berbakat dan berkarakter.
Hal itu disampaikan oleh Soesilo Toer, adik kandung dari Pramoedya Ananta Toer pada sesi materi Sejarah Masyarakat Indonesia dalam forum pengkaderan PC PMII Surabaya: PKL (Pelatihan Kader Lanjut), di Wisma PGRI Jawa Timur. Mbah Soes, sapaannya, menyampaikan bahwa ketika Mas Pram masih hidup ia sering mendapat kritikan berupa tulisan baik dari orang yang mendukung atau memusuhinya. Pram tidak keberatan mendapat kritikan dari berbagai macam orang, tetapi ia berpesan agar jika menulis tentang dirinya dengan sungguh-sungguh.
Mas Pram (panggilan Mbah Soes kepada Pramoedya Ananta Toer) itu dulu dikenal sebagai siswa yang kurang pintar (bodoh) dan oleh bapaknya ia tidak diizinkan untuk melanjutkan ke jenjang sekolah lanjut. “Buat apa kamu melanjutkan sekolah, wong kamu bodoh,” kenang Mbah Soes, menirukan cara bertutur bapaknya, Toer (Mastoer). Sejak saat itu Pramoedya Ananta Toer membenci bapaknya sampai akhir hayatnya.
Kemudian Mbah Soes menambahkan, “Mas Pram setelah mendapat hinaan dari bapaknya tersebut, ia berfikir, apa yang biasa dilakukan oleh orang bodoh? Ia lalu sadar kalau orang bodoh hanya bisa melamun. Dari melamun inilah Mas Pram sering menelurkan karya yang luar biasa. Nah inilah yang membedakan antara saya dengan Mas Pram. Kalau dia itu pengarang dan saya adalah penulis,” Ujar Alumnus program doktor Universitas Plekhanov Uni Soviet itu.
Kesadaran bahwa Pram adalah manusia yang bodoh itu membuatnya tidak gentar ketika dikritik dari berbagai macam pihak. Toh ia memang serba kurang. Tetapi dengan proses melamun (imajinasi) ia mampu mengkhayalkan sebuah alur cerita dari satu plot ke plot yang lain dengan luar biasa. Karya monumental Pramoedya Ananta Toer yang dihasilkan dari proses imajinasi dan data sejarah nusantara itu seperti Arus Balik dan Tetralogi Pulau Buru. Hal ini menjadi titik balik dari maenstream masyarakat umum yang menilai kecerdasan manusia dari segi raport dan kecakapannya di bidang eksakta.
Mbah Soes menyatakan bahwa Pramoedya Ananta Toer merupakan sosok ultranasionalis. Sebuah ideologi kebangsaan yang tidak biasa dimiliki oleh seorang warganegara. Mbah Soes mengakui Pram itu seorang individualis, tidak bisa diperintah dan memerintah. Ia pribadi yang ingin merdeka sebenar-benarnya merdeka. “Sama saja dengan saya, kalau saya berbicara sesuai tema yang diberikan panitia maka saya otomatis menjadi budak dari panitia,” Ujar Mbah Soes dan disambut sorak-sorai peserta.
Mbah Soes menuturkan bahwa jika seorang ingin menjadi pengarang maka ia harus siap untuk hidup miskin. “Anak saya, si Bennee itu sudah diterima sama perusahaan Jepang dan bakal digaji jutaan rupiah. Tapi anak saya malah tidak ingin masuk. Katanya, kalau aku masuk kerja nanti aku jadi budak,” kenangnya. “Berkat anak saya itu saya sering mendapat pertolongan. Karena ia sering menyunting karya-karya saya”.
Hal itu lantaran disebabkan karena faktor pendidikan keluarga Toer sendiri. “Keluarga saya menerapkan pendidikan model pembiaran kepada anak-anaknya. Kalau ada saudara yang tidak ranking ya tidak dikomentari, kalau bagus ya biasa saja. Mau berbuat apapun dan mau menjadi apapun itu terserah anak-anak asal tidak melanggar dan merebut hak orang lain. Itu larangan keras dari keluarga kami,” tegasnya. Kemudian ia mengenang saat ia diajak oleh kakaknya (Pramoedya Ananta Toer) untuk menghadiri peluncuran buku cetakan keempat Arus Balik di TIM. “Saya tidak ikut acara pesta makan-makan karena tidak ada yang menawari. Mas Pram berpesan pada saya, ‘jangan minta!’. Walaupun yang mengajak saya ke sana juga Mas Pram sendiri,” kenangnya saat hidup bersama Pramoedya Ananta Toer.
Mbah Soes sendiri sangat berterima kasih kepada pihak panitia PKL PC PMII Surabaya karena ia merasa telah dimanusiakan dengan mengundangnya ke Surabaya. “Saya baru dua kali ke Surabaya, pertama ketika menjenguk saudara yang sedang sakit dan kedua ya di PKL ini,” ucap Mbah Soes diiringi senyum bersahaja, lelaki tua yang dahulu pernah menjadi tahanan politik saat meletus G 30 S.
Di sela-sela materi, Junaidi, selaku ketua panitia pelaksana, saat diwawancarai oleh suaraakurat.net menyatakan kebahagiaannya karena sosok Soesilo Toer yang legendaris itu sudi menghadiri acara PKL (Pelatihan Kader Lanjut) di Surabaya. “Ya disini kita bahagia dan senang hati membantu Mbah Soes menjualkan buku-bukunya kepada peserta dan masyarakat,” ujar mahasiswa dari UIN Sunan Ampel ini. Ia sendiri berharap agar jaringan komunikasi dan persaudaraan yang dibangun oleh PC PMII Surabaya kepada Soesilo Toer sendiri tidak terputus. “Sosok seperti Mbah Soes sulit dicari bandingannya. Mahasiswa-mahasiswa sekarang yang lebih senang berfoya-foya harus mengambil suri tauladan dari Mbah Soes yang teguh pada prinsip dan pekerja keras. Jarang sekali sekarang mahasiswa yang kuat mempertahankan idealismenya, biasanya hanya bertahan saat diskusi saja, setelah di lapangan malah luntur,” tegasnya, melihat fenomena mahasiswa yang memprihatinkan. (Al- Mufti)